Era digital, era milineal, era global, era internet... tidak bisa kita hindari. Kehadiran telpon pintar atau smart phone seakan menjadi candu dalam kehidupan kita. Sebentar saja tanpa smart phone di tangan sudah mampu membuat hidup kita gelisah, seakan ada sesuatu yang kurang rasanya.
Kemudian timbullah apa yang dinamakan generasi menunduk, di mana semua orang lebih asyik menunduk memplototi layar smart phonenya sampai kadang-kadang tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Bahkan dengan anak-anak kitapun yang sedang membutuhkan perhatian, sentuhan dan kasih sayang kita menjadi terabaikan karena keasyikan kita terhadap smart phone.
Seperti digambarkan pada sebuah kisah pendek yang diunggah di youtube oleh Chanel Lony's Work 31 Januari 2017 yang lalu. Film singkat Bangladesh ini menjelaskan situasi saat ini dimana orang tua tidak paham bahwa merekapun harus meluangkan waktu bagi anak-anak mereka dan tidak hanya asyik dengan smart phonenya.
Kejadian terjadi di sebuah kelas TK di mana seorang guru perempuan mengajarkan topik "cita-cita" kepada siswanya. Setiap anak ditanyakan apa keinginan atau cita-citanya. Dengan kelucuan dan keluguannya, para siswa tersebut menceritakan tentang apa yang menjadi keinginan atau cita-citanya. Ada yang ingin menjadi burung, karena bisa terbang tinggi di langit, ada yang ingin menjadi kelinci putih dan sebagainya.
Tetapi ada seorang siswa perempuan bernama TOPPA yang membuat ibu gurunya tertegun bahkan mungkin bagi semua orang tua akan menjadi miris dan tersindir mendengar keinginan atau cita-citanya dengan alasan yang cukup menohok. Dia ingin menjadi SMART PHONE.
Berikut kisahnya :
Saya ingin menjadi seekor burung.
Benarkah ? tetapi kenapa ?
Karena burung dapat terbang di langit
Saya ingin menjadi seekor kelinci putih.
Seorang anak perempuan yang kemudian dikenal bernama Toppa, kelihatan asyik sendiri mencorat-coret di kertas gambarnya. Ibu gurunya tertarik, kemudian bertanya kepadanya.
Hei Toppa, sejak tadi kamu menulis sesuatu. Ceritakan kepada saya kamu ingin menjadi apa.
“Saya ingin menjadi Smart Phone”
“Smart Phone ? Tapi Kenapa ? “ ibu gurunya tertegun.
Orang tua saya sangat menyukai smart phone. Kemanapun ayah pergi, ayah selalu membawa smart phone bersamanya. Tapi dia tidak pernah membawa saya bersamanya.
Ibu saya menerima telepon secepat mungkin ketika berdering, tetapi ibu saya tidak datang kepada saya, bahkan ketika saya sedang menangis.
Ayah saya bermain game dengan smart phone nya, tetapi dia tidak pernah bermain dengan saya. Saya meminta ayah untuk memangku saya. Tetapi dia tidak melakukannya. Ayah selalu memegangang smart phone.
Ketika saya meminta ibu untuk bermain dengan saya, dia selalu berteriak kepada saya dengan berkata. Apa kamu tidak melihat saya sedang mengobrol di telpon ?
Ayah saya tidur dengan smart phone berada di sampingnya. Tetapi ayah tidak pernah tidur dengan memeluk saya.
Ibu saya tidak pernah lupa untuk mencharge smart phone, tetapi terkadang lupa memberi saya makan.Cita-cita saya ingin menjadi smart phone dan selalu berada di samping ayah dan ibu.
Kita dapat memetik pelajaran berharga dari kisah di atas. Jangan sampai kita terlalu terlarut dengan keasyikan bermain dengan smart phone hingga melupakan orang-orang di sekitar kita bahkan keluarga dan anak-anak sendiri. Mereka juga butuh sentuhan dan kasih sayang.
Pilihan ada di tangan kita, mana yang lebih berharga, smart phone atau anak-anak kita. ?
Berikut videonya
1 komentar:
waduh bahaya ni pak,,untung aja sy ndk punya Smartphone hanya HP saja,,hehehe
Komentar anda sangat berarti bagi kami.